An Elder Scrolls Story : Journey To The East Part 2
Setelah sehari perjalanan sampai lah aku ditempat tujuan, di Imperial City dekat Arena. Menurut pengirim, ia akan menunggu kedatanganku disini selama 3 hari.
Terlihat seorang pria Breton bersandar di dinding Arena masih tetapi kokoh berdiri indah.
“Sudah hampir 2 hari aku disini, dimana orang itu?! Apakah jalan setapak dari Skyrim ke sini sudah hancur?”
“Ah itu pasti dia”. Ujarku dalam hati. “Permisi, apa anda sedang menunggu seorang... kurir, pak tua?”
Disambutnya aku dengan pelukan yang bercampur dengan kekesalan.
“Oh, demi Sembilan Dewa!. Akhirnya, kenapa kau lama sekali!. Ada apa gerangan diperjalananmu? Kau membuat seorang pria tua menunggu lama.”
“Maaf, ada sedikit badai salju di bukit perbatasan. Ini sepucuk surat dan beberapa batang emas. Kau pasti untung besar hari ini, pak tua.” Puji dariku dengan harapan sedikit ongkos tambahan.
“Mungkin saja. Nah, bawa ini dan gantungkan kantong ini diluar rumahmu. Ini tambahannya”. Ucapnya agak pelan. “Untung saja aku ini penyabar, aku sudah menunggumu diatas sini. Melayang seperti daun sebelum gugur”.
“Kau seorang penyair rupanya, harusnya kau jual kata-kata itu pada wanita di tempat minum.”
Tertawalah kami berdua, dan kuambil sebuah berlian pemberiannya sebelum berpisah. Ucapan kodenya sangat asing ditelinga, tapi aku sudah terbiasa dengan yang seperti ini.
“Baik sekali dia, batu hiasan yang mahal dijadikan bayaran. Padahal kalau ia ingin meminta jasaku aku akan sedia mengirim untuknya ke penjuru Tamriel”.
Lalu aku melirik kebelakang dengan niat akan berteriak selamat tinggal dan terimakasih. Tapi dia sudah tidak ada disana.
“Aneh” Ucapku pada diri sendiri. “Kuharap perjalanan pulangku tenang.”
Sore menjelang, kuhampiri penginapan kecil di utara Cyrodiil. Sambil melepas dahaga dan
“Ah, petang di Cyrodiil.... Aku harus mencari tempat tidur. ”
Masuklah aku ke satu tempat minum, dan kuhampiri penjaganya.
“Pak, bolehkah aku memesan kamar dan beberapa potong roti? Perapianmu sangat hangat dan
sepertinya tempat ini terasa nyaman sekali” Dengan trik yang sama, kuharap pujianku berubah menjadi diskon.
“Hmph, tipuanmu takkan bekerja dua kali padaku. Kurir sialan” Ucap si penjaga “Selamat datang kembali temanku, di tempatku yang sederhana ini”.
Ia bernama Lucius, seorang pensiunan tentara Imperial ini beralih profesi menjadi pengelola tempat minum. Ia mungkin orang tua, tapi kebijaksanaan dan pengalamannya, ajaibnya, membuat usahanya tetap bertahan walau diam di perbatasan.
“Kamar satu, 2 botol anggur, dan 3 potong roti. Seperti biasanya, sudah siap.” Lucius dengan seringai ramahnya seperti mengucapkan mantra spesial untukku.
“Orang tua sialan, kau selalu saja tahu apa yang ku mau. Kenapa kau tak pikun-pikun”
Tawa lantang kakek penjaga memecah keheningan malam.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lalu keluarlah cahaya dari arah timur, seakan melihat matahari terbit. Laut badai yang kusam berubah putih seperti susu dan awan badai seakan berlari ketakutan. Perlahan air laut mulai tenang dan semuanya terasa damai.
“Ku dengar pinta mu, sang Ksatria Penjaga.”
Suara yang terdengar berganti dengan suara seorang perempuan muda yang lembut.
“Berterimakasih lah pada Dewa Stendarr, Di alah yang menyampaikan perintah menyelamatkan kalian. Ingat, jagalah kalung itu baik-baik, pulangkan lah ia ketempatnya!. Akhiri kutukan itu!”
Cahaya terang itu berangsur-angsur menghilang, kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit yang bersih pun menggantikannnya. Hiasan aurora di selatan menambah kecantikan malam itu.
“Apa itu tadi?, Siapa dia?, Kau ini siapa?, Kenapa kau bisa....”
Sebelum menyelesaikan pertanyaan mereka, penumpang dan awak kapal sudah dibuat tidur duluan dengan sihirnya. Kecuali aku. Aku tidak tau mengapa.
“Kau!” ujarnya “Kau, kurir. Kemari!”
Dengan penuh rasa takut aku melangkah maju mendekati orang itu. Ia memakai jubah hitam dengan corak yang belum penah aku lihat, tangan kanannya memegang sebuah tongkat sihir yang juga dipenuhi dengan corak yang asing. Tapi suaranya sudah tidak berat dan terdengar familiar.
“Masihkah kau ingat denganku? Kau tak mungkin lupa dengan pelangganmu sendiri. Kurir.”
“Pak tua? Kau kah itu? Bagaimana bisa?” Jawabku dengan sejuta tanya dihati.
“Diamlah kalau kau tak mau terkena sihirku. Kau hebat nak, kau telah bertahan sejauh ini.....”
“Lalu? Pasti ada sesuatu yang kau inginkan....” Ucapanku memotong perkataanya.
“Penyemangat dan langsung ke inti, pantas kau sangat dipercaya menjadi kurir. Bagus. Ya, aku ada permintaan. Aku ingin kau membawa kalung ini pulang ke tempatnya sebagai pengganti diriku yang renta ini” Jelasnya bagai seorang penyair.
“Tapi, aku....... aku ini....... hanya seorang kurir. Aku sudah ditugaskan orang lain.”
“Hmph, Raja The Rift, kah? Jangan khawatir destinasimu akan sama dengan tujuan suratmu”.
Terlihat seorang pria Breton bersandar di dinding Arena masih tetapi kokoh berdiri indah.
“Sudah hampir 2 hari aku disini, dimana orang itu?! Apakah jalan setapak dari Skyrim ke sini sudah hancur?”
“Ah itu pasti dia”. Ujarku dalam hati. “Permisi, apa anda sedang menunggu seorang... kurir, pak tua?”
Disambutnya aku dengan pelukan yang bercampur dengan kekesalan.
“Oh, demi Sembilan Dewa!. Akhirnya, kenapa kau lama sekali!. Ada apa gerangan diperjalananmu? Kau membuat seorang pria tua menunggu lama.”
“Maaf, ada sedikit badai salju di bukit perbatasan. Ini sepucuk surat dan beberapa batang emas. Kau pasti untung besar hari ini, pak tua.” Puji dariku dengan harapan sedikit ongkos tambahan.
“Mungkin saja. Nah, bawa ini dan gantungkan kantong ini diluar rumahmu. Ini tambahannya”. Ucapnya agak pelan. “Untung saja aku ini penyabar, aku sudah menunggumu diatas sini. Melayang seperti daun sebelum gugur”.
“Kau seorang penyair rupanya, harusnya kau jual kata-kata itu pada wanita di tempat minum.”
Tertawalah kami berdua, dan kuambil sebuah berlian pemberiannya sebelum berpisah. Ucapan kodenya sangat asing ditelinga, tapi aku sudah terbiasa dengan yang seperti ini.
“Baik sekali dia, batu hiasan yang mahal dijadikan bayaran. Padahal kalau ia ingin meminta jasaku aku akan sedia mengirim untuknya ke penjuru Tamriel”.
Lalu aku melirik kebelakang dengan niat akan berteriak selamat tinggal dan terimakasih. Tapi dia sudah tidak ada disana.
“Aneh” Ucapku pada diri sendiri. “Kuharap perjalanan pulangku tenang.”
Sore menjelang, kuhampiri penginapan kecil di utara Cyrodiil. Sambil melepas dahaga dan
“Ah, petang di Cyrodiil.... Aku harus mencari tempat tidur. ”
Masuklah aku ke satu tempat minum, dan kuhampiri penjaganya.
“Pak, bolehkah aku memesan kamar dan beberapa potong roti? Perapianmu sangat hangat dan
sepertinya tempat ini terasa nyaman sekali” Dengan trik yang sama, kuharap pujianku berubah menjadi diskon.
“Hmph, tipuanmu takkan bekerja dua kali padaku. Kurir sialan” Ucap si penjaga “Selamat datang kembali temanku, di tempatku yang sederhana ini”.
Ia bernama Lucius, seorang pensiunan tentara Imperial ini beralih profesi menjadi pengelola tempat minum. Ia mungkin orang tua, tapi kebijaksanaan dan pengalamannya, ajaibnya, membuat usahanya tetap bertahan walau diam di perbatasan.
“Kamar satu, 2 botol anggur, dan 3 potong roti. Seperti biasanya, sudah siap.” Lucius dengan seringai ramahnya seperti mengucapkan mantra spesial untukku.
“Orang tua sialan, kau selalu saja tahu apa yang ku mau. Kenapa kau tak pikun-pikun”
Tawa lantang kakek penjaga memecah keheningan malam.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lalu keluarlah cahaya dari arah timur, seakan melihat matahari terbit. Laut badai yang kusam berubah putih seperti susu dan awan badai seakan berlari ketakutan. Perlahan air laut mulai tenang dan semuanya terasa damai.
“Ku dengar pinta mu, sang Ksatria Penjaga.”
Suara yang terdengar berganti dengan suara seorang perempuan muda yang lembut.
“Berterimakasih lah pada Dewa Stendarr, Di alah yang menyampaikan perintah menyelamatkan kalian. Ingat, jagalah kalung itu baik-baik, pulangkan lah ia ketempatnya!. Akhiri kutukan itu!”
Cahaya terang itu berangsur-angsur menghilang, kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit yang bersih pun menggantikannnya. Hiasan aurora di selatan menambah kecantikan malam itu.
“Apa itu tadi?, Siapa dia?, Kau ini siapa?, Kenapa kau bisa....”
Sebelum menyelesaikan pertanyaan mereka, penumpang dan awak kapal sudah dibuat tidur duluan dengan sihirnya. Kecuali aku. Aku tidak tau mengapa.
“Kau!” ujarnya “Kau, kurir. Kemari!”
Dengan penuh rasa takut aku melangkah maju mendekati orang itu. Ia memakai jubah hitam dengan corak yang belum penah aku lihat, tangan kanannya memegang sebuah tongkat sihir yang juga dipenuhi dengan corak yang asing. Tapi suaranya sudah tidak berat dan terdengar familiar.
“Masihkah kau ingat denganku? Kau tak mungkin lupa dengan pelangganmu sendiri. Kurir.”
“Pak tua? Kau kah itu? Bagaimana bisa?” Jawabku dengan sejuta tanya dihati.
“Diamlah kalau kau tak mau terkena sihirku. Kau hebat nak, kau telah bertahan sejauh ini.....”
“Lalu? Pasti ada sesuatu yang kau inginkan....” Ucapanku memotong perkataanya.
“Penyemangat dan langsung ke inti, pantas kau sangat dipercaya menjadi kurir. Bagus. Ya, aku ada permintaan. Aku ingin kau membawa kalung ini pulang ke tempatnya sebagai pengganti diriku yang renta ini” Jelasnya bagai seorang penyair.
“Tapi, aku....... aku ini....... hanya seorang kurir. Aku sudah ditugaskan orang lain.”
“Hmph, Raja The Rift, kah? Jangan khawatir destinasimu akan sama dengan tujuan suratmu”.
0 komentar: