An Elder Scrolls Story : Journey To The East Part 2

00.52 0 Comments

Setelah sehari perjalanan sampai lah aku ditempat tujuan, di Imperial City dekat Arena. Menurut pengirim, ia akan menunggu kedatanganku disini selama 3 hari.
Terlihat seorang pria Breton bersandar di dinding Arena masih tetapi kokoh berdiri indah.

“Sudah hampir 2 hari aku disini, dimana orang itu?! Apakah jalan setapak dari Skyrim ke sini sudah hancur?”

“Ah itu pasti dia”. Ujarku dalam hati. “Permisi, apa anda sedang menunggu seorang... kurir, pak tua?”

Disambutnya aku dengan pelukan yang bercampur dengan kekesalan.

“Oh, demi Sembilan Dewa!. Akhirnya, kenapa kau lama sekali!. Ada apa gerangan diperjalananmu? Kau membuat seorang pria tua menunggu lama.”

“Maaf, ada sedikit badai salju di bukit perbatasan. Ini sepucuk surat dan beberapa batang emas. Kau pasti untung besar hari ini, pak tua.” Puji dariku dengan harapan sedikit ongkos tambahan.

“Mungkin saja. Nah, bawa ini dan gantungkan kantong ini diluar rumahmu. Ini tambahannya”. Ucapnya agak pelan. “Untung saja aku ini penyabar, aku sudah menunggumu diatas sini. Melayang seperti daun sebelum gugur”.

“Kau seorang penyair rupanya, harusnya kau jual kata-kata itu pada wanita di tempat minum.”

Tertawalah kami berdua, dan kuambil sebuah berlian pemberiannya sebelum berpisah. Ucapan kodenya sangat asing ditelinga, tapi aku sudah terbiasa dengan yang seperti ini.

“Baik sekali dia, batu hiasan yang mahal dijadikan bayaran. Padahal kalau ia ingin meminta jasaku aku akan sedia mengirim untuknya ke penjuru Tamriel”.

Lalu aku melirik kebelakang dengan niat akan berteriak selamat tinggal dan terimakasih. Tapi dia sudah tidak ada disana.

“Aneh” Ucapku pada diri sendiri. “Kuharap perjalanan pulangku tenang.”

Sore menjelang, kuhampiri penginapan kecil di utara Cyrodiil. Sambil melepas dahaga dan

“Ah, petang di Cyrodiil.... Aku harus mencari tempat tidur. ”

Masuklah aku ke satu tempat minum, dan kuhampiri penjaganya.

“Pak, bolehkah aku memesan kamar dan beberapa potong roti? Perapianmu sangat hangat dan
sepertinya tempat ini terasa nyaman sekali” Dengan trik yang sama, kuharap pujianku berubah menjadi diskon.

“Hmph, tipuanmu takkan bekerja dua kali padaku. Kurir sialan” Ucap si penjaga “Selamat datang kembali temanku, di tempatku yang sederhana ini”.

Ia bernama Lucius, seorang pensiunan tentara Imperial ini beralih profesi menjadi pengelola tempat minum. Ia mungkin orang tua, tapi kebijaksanaan dan pengalamannya, ajaibnya, membuat usahanya tetap bertahan walau diam di perbatasan.

“Kamar satu, 2 botol anggur, dan 3 potong roti. Seperti biasanya, sudah siap.” Lucius dengan seringai ramahnya seperti mengucapkan mantra spesial untukku.

“Orang tua sialan, kau selalu saja tahu apa yang ku mau. Kenapa kau tak pikun-pikun”
Tawa lantang kakek penjaga memecah keheningan malam.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lalu keluarlah cahaya dari arah timur, seakan melihat matahari terbit. Laut badai yang kusam berubah putih seperti susu dan awan badai seakan berlari ketakutan. Perlahan air laut mulai tenang dan semuanya terasa damai.

“Ku dengar pinta mu, sang Ksatria Penjaga.”
Suara yang terdengar berganti dengan suara seorang perempuan muda yang lembut.

“Berterimakasih lah pada Dewa Stendarr, Di alah yang menyampaikan perintah menyelamatkan kalian. Ingat, jagalah kalung itu baik-baik, pulangkan lah ia ketempatnya!. Akhiri kutukan itu!”

Cahaya terang itu berangsur-angsur menghilang, kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit yang bersih pun menggantikannnya. Hiasan aurora di selatan menambah kecantikan malam itu.

“Apa itu tadi?, Siapa dia?, Kau ini siapa?, Kenapa kau bisa....”

Sebelum menyelesaikan pertanyaan mereka, penumpang dan awak kapal sudah dibuat tidur duluan dengan sihirnya. Kecuali aku. Aku tidak tau mengapa.

“Kau!” ujarnya “Kau, kurir. Kemari!”

Dengan penuh rasa takut aku melangkah maju mendekati orang itu. Ia memakai jubah hitam dengan corak yang belum penah aku lihat, tangan kanannya memegang sebuah tongkat sihir yang juga dipenuhi dengan corak yang asing. Tapi suaranya sudah tidak berat dan terdengar familiar.

“Masihkah kau ingat denganku? Kau tak mungkin lupa dengan pelangganmu sendiri. Kurir.”

“Pak tua? Kau kah itu? Bagaimana bisa?” Jawabku dengan sejuta tanya dihati.

“Diamlah kalau kau tak mau terkena sihirku. Kau hebat nak, kau telah bertahan sejauh ini.....”

“Lalu? Pasti ada sesuatu yang kau inginkan....” Ucapanku memotong perkataanya.

“Penyemangat dan langsung ke inti, pantas kau sangat dipercaya menjadi kurir. Bagus. Ya, aku ada permintaan. Aku ingin kau membawa kalung ini pulang ke tempatnya sebagai pengganti diriku yang renta ini” Jelasnya bagai seorang penyair.

“Tapi, aku....... aku ini....... hanya seorang kurir. Aku sudah ditugaskan orang lain.”

“Hmph, Raja The Rift, kah? Jangan khawatir destinasimu akan sama dengan tujuan suratmu”.

0 komentar:

An Elder Scrolls Story : Journey To The East

17.35 0 Comments


Kapal semakin tidak stabil, terus saja bergoyang diterjang ombak badai. Aku terus berharap agar kami selamat sampai tujuan.

“Penumpang!, harap tenang dan jangan banyak bergerak. Kau! Tahan tali itu dan ikat disana!” Teriak sang kapten kapal.

“Semoga Dewa Stendarr melindungi kita!” Ujar salah satu awak kapal.

Kulihat ia merogoh dalam-dalam kantong kulit itu, entah sedang mengambil apa. Tak lama kemudian sebuah kalung indah tampak digenggamnya dengan penuh kesedihan.

“Hari ini kau harus pulang, hari ini. Walau bagaimanapun.”

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara raungan diantara gemuruh badai. Raungan yang seharusnya menakutkan entah mengapa terasa sangat menenangkan.

“Raungan mulia sang penyelamat, raungan kematian sang pembunuh, raungan keadilan sang Sriwarnayasa, sang penguasa lautan timur!”

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah 5 tahun berlalu, di tempat kecil ini, sendiri. Sempat terlintas untuk pergi, tapi hanya tempat inilah harta yang aku punya. Sebisa mungkin aku kembali walau badai-hujan disepanjang jalan.

Tempat ini tidak semegah istana Jarl (red: Raja) ataupun senyaman penginapan di tempat minum langgananku. Hanya ada ruang tengah dan kamar. Hanya ada sebuah simbol dan kayu bertuliskan “Kurir Provinsi”. Ya, aku adalah seorang kurir antar-provinsi.

Di ruang tengah bergelantungan beberapa belati dan pedang yang entah kenapa aku simpan terus walau aku bukan seorang prajurit bayaran. Bahkan setiap pengiriman, aku selalu menyarungkan dua belati dipinggangku.

Pekerjaan ini memang tidak seberapa, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan tidak setiap hari ada yang mau mengirim surat. Tapi apakah ada pekerjaan yang memberikan kebebasan selain menjadi kurir?. Ditambah lagi setiap pengiriman ke daerah baru aku selalu bertemu dengan teman-teman baru.

Hanya seorang kurir yang benar-benar bebas melintas kemanapun, tidak ada Nord yang berkalungkan tanda Dewa Talos yang bisa masuk ke Pulau Summerset kecuali ia adalah seorang kurir. Ada kurir pergi ke daerah Rawa Hitam yang katanya tidak bisa ditembus, tapi surat tetap saja terkirim.
Siang itu aku sedang duduk di dekat perapian, sambil menikmati sepiring salmon bakar hasil pancinganku kemarin dan akan segera berangkat ke Cyrodiil untuk mengambil surat, “Bisnis” kata sang pengirim.

“Hmph, paling hanya surat pembelian Skooma (red: obat terlarang) dengan beberapa batangan emas”

Terdengar suara lantang dari pintu, bergegas aku menghampirinya dan membukakan pintu.
“Permisi! Kurirnya ada?”

Suara itu tak asing, Haftar seorang Redguard utusan istana Riften. Aku tinggal di pinggir barat danau Hornrich dekat desa Ivarstead.

“Ah, temanku! Untunglah kau belum pergi. Ada surat dari Jarl, Yang Mulia ingin kau menghadap ke istana secepatnya”.

“Bagaimana kalau nanti, aku sedang ada kiriman yang harus dijemput? Aku sudah dibayar lunas?” Ujarku bingung.

“Jarl akan memberimu tugas penting, segeralah menghadap!”. Haftar memaksa.

“Begini saja, tunggulah seminggu selagi aku pergi ke selatan. Sebagai jaminannya kau simpan kunci rumahku dan aku ambil suratmu?” Pintaku dengan penuh pertimbangan.

“Baiklah. Tapi cepatlah pulang, kutunggu kau di istana”. Katanya sambil menaiki Darsi, kuda kesayangannya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ia  yang awalnya bersedih entah kenapa terlihat gembira seakan melihat titisan Dewa.

“Raungan mulia sang penyelamat, raungan kematian sang pembunuh, raungan keadilan sang Sriwarnayasa, sang penguasa lautan timur!” Teriaknya dari ujung  dek kapal.
“Makhluk dari Aetherius! Mensucikan diri di Nirn! Mengampuni para pendosa dan memuliakan para pengikutnya! ”.

Lalu keluarlah cahaya dari arah timur, seakan melihat matahari terbit. Laut badai yang kusam berubah putih seperti susu dan awan badai seakan berlari ketakutan. Perlahan air laut mulai tenang dan semuanya terasa damai.

“Ku dengar pinta mu, sang Ksatria Penjaga”.

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html