Bahasa & Hidup (II)


Zaman praaksara dahulu sebelum ada tulisan, manusia memakai gambar untuk menyuratkan segala isi hatinya. Tapi bahasa sudah diperkirakan ada saat itu. Benak penulis sempat membayangkan bagaimana bahasa mereka saat itu.
Lalu berkembang sampai muncul tulisan-tulisan awal seperti aksara bangsa Sumeria dan Mesir Kuno yang berangka berabad-abad sebelum masehi.
Berabad-abad setelah itu lahirlah berbagai tulisan yang masuk dan tersebar luas di Nusantara yang asalnya dari Semenanjung India.
Tapi bagaimana dengan bahasa di Nusantara itu sendiri?
Apakah nenek moyang kita menunggu tulisan dan bahasa asing itu dahulu?
Kita simpan dulu saja pertanyaan diatas untuk bagian lain. Dan mari simak cuplikan dibawah ini.
***
Entah apa yang Sutejo sedang bicarakan. Ia terlihat sibuk mondar-mandir dengan telepon genggamnya yang terkesan menempel dengan erat di telinga ayah 2 anak itu.
“Yes, sir. The package will be there soon. I have already sent it via local shipment company. The company says 4 days to Bangkok”
Beberapa detik Sutejo terdiam.
“Oh, thank you, sir. My pleasure. I hope my product will satisfied you”

Ia pun menutup telepon flip-nya dan melangkah kembali ke warung kopi. Ia terlihat sangat kegirangan, entah apa yang merasukinya
“Hei, senyum-senyum!. Dapat istri baru ya?”
“Eits. Supaya we. Ndak lah. Iki lho aku baru ngirim pesanan orang luar. Dari Bangkok, Thailand!.”
“Hebat kamu, jo. Salut saya! Dia mesen apa? Kursi? Meja? Lemari?”
“Dia mesen full-set, buat living room sama ruang santai”
Tejo ini aslinya orang Jogja, tapi pindah kesini buat meneruskan usaha Ukir Jepara mertuanya. Usahanya berkembang pesat, jadi ngiri aku. Ya, aku hidup bulak-balik kantor developer IT aja. Gaji memang cukup, tapi ritme kerja yang monoton kadang membuatku bosan. Ujung-ujungnya warung inilah perlarianku.
***
Cuplikan di atas agaknya menggambarkan bagaimana bahasa menjadi sangat vital di masyarakat. Baik lokal secara kedaerahan maupun internasional seperti Bahasa Inggris.
Terlihat jua bahasa juga menjadi satu unsur penting dalam perniagaan seperti ini. Mana ada orang luar yang ngerti “Mangga dipeser, pak. Mirah”? Ada? ,tapi mungkin satu dari sepersekian juta.
Perdagangan Bebas memang memaksa kita untuk adaptif, fleksibel dan siap bersaing dalam berkomunikasi. Utamanya berkomunikasi dalam bahasa pemersatu.
Barang kita bagus-bagus kok!. Bandrek sudah di ekspor, Ukir Jepara seperti diatas sudah veteran, rempah-rempah kita dimasa lalu laku keras dipasaran. Yang kurang hanya kita sebagai tenaga kerja dan penduduk yang masih kurang mempersiapkan diri.
Kita bisa menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Ya, bisa.
Tapi alangkah baiknya kita berkomitmen sendiri. Yah, minimal belajar dengan giat sebagaimana mestinya dan me-literasi diri (red : rajin membaca). Kenapa tidak? Kenapa tidak dari sekarang? Mari kita giatkan!.

Tuntunan

Hilang kurasa getir hati.
Tapi hilang jua bahgia ku.
Indah kurasa bayang ini.
Dan datang pula gundah itu.

Bagaikan desir angin menyapu awan.
Kurasa tapi tak kuraba.
Seperti guruh yang menyergap.
Takut tapi tak menyiksa.

Seperti hidup sang pengembara.
Berjalan diantara hutan kehidupan.
Persis hidup seorang abdi raja.
Hanya berjalan dengan setia.

Garis Tuhan terlalu pasti.
Sang penunjuk jalan kita.

--

Bahasa & Hidup (I)

***

Diam-diam dari warung kopi kuperhatikan 2 orang yang sedang sibuk memeriksa bawaannya.
“Alah, aya nu poho!”.
Begitulah kira-kira ucapan yang keluar dari mulutnya. Dengan aksen khas Cianjuran yang memberikan kesan yang agak berbeda dibanding teman-teman lain yang istilahnya “salembur” (sama asalnya dari tanah Sunda).
Asal muasal dia memang berbeda. Lahir memang di Bogor, tapi besar di Cianjur lalu menetap disini. Sukabumi.
“Halah, terlupa pula?.”
Jawaban keluar dari mulut temannya. Sudah bisa ditebak asalnya dari mana. Batak. Ia orang rantau yang cukup sukses. Ia punya satu toko sembako yang memang tidak terlalu besar, tapi dapat menggaji 2 orang pekerjanya. Yang salah satunya adalah si orang Cianjur ini.
“Masih leuheung bahasa mereka”. Ujar ku dalam hati. “Beda dengan preman itu”.
“Mayar moal sia, kehed?!” Sambil mengancam akan menampar.
Kepalaku seperti otomatis menggeleng-geleng melihat kejadian itu. Pedagang sendal itu langsung memberikan sejumlah uang ke preman itu.


***

Ia kadang mati. Kadang hidup. Kadang sakit. Kadang sehat. Tapi ia bukan makhluk hidup dan punya kedekatan khusus dengan umat manusia.
Ia dibungkam agar mati. Karena sekali ia membual bisa kacau situasi ataupun karena bila ia berteriak akan tersingkap satu fakta yang menyedihkan.
           
              Ia dihidupkan agar tercipta keamanan. Atau agar tercipta satu kebohongan.
              Ia terlihat sakit karena dirusak, dinodai modernisasi.
              Ia terlihat sehat karena dijaga, dirawat dengan baik.

Itulah Bahasa. Salah satu dari sekian banyak cara manusia berkomunikasi dan yang paling umum digunakan.

Merupakan teknik komunikasi yang sudah dipakai berabad-abad di sepanjang sejarah peradaban manusia dan sangat erat kaitannya dengan perkembangan manusia dari waktu ke waktu. Dari Bahasa yang ini sampai yang itu. Berderet ribuan bahkan mungkin jutaan Bahasa yang berbeda-beda.

                Lalu, bagaimana kita? Negara Kesatuan Republik Indonesia?.

Jangan ditanya soal banyaknya bahasa. Kita ini gudang-nya. Di negara lain yang berbeda paling-paling hanya aksen saja ataupun bahasanya hanya sedikit terpakai. Tapi di negara kita semuanya benar-benar terasa perbedaannya.

Perkumpulan rantau adalah salahsatu buktinya.

Ya. Dimanapun seorang perantau berada bila sudah bertemu satu sama lain, bahasa tanah kelahirannya pasti yang akan dipakai. Ditambah segala jurus kebahasaan seperti senda gurau, pantun, cerita dan hal-hal lainnya.
Di seri artikel rahayatsunda.blogspot.com ini akan menyingkap segala hal yang bersangkut-paut dengan bahasa yang Insya Allah bermanfaat dan bisa dijadikan acuan sumber yang valid bagi pembaca.

Bahagia Kami Sehari, Hari Perlawanan Nasional

Seorang bisa disebut suhu saya belum puas melihat artikel yang saya buat di blog ini. Jadi saya putuskan untuk melanjutkan tema Pertempuran Konvoy.

70 tahun yang lalu, Perang Dunia kedua mulai merasuki daerah Asia Timur Raya

Sudah jatuh tertimpa tangga. Jepang menyerah kalah perang karena dibombardirnya kota Hiroshima dan Nagasaki, dan juga kehilangan Asia Timur Raya-nya. Ekspansi daerah pun gagal. Tapi, dibalik itu semua rasa nasionalisme penduduk Asia Timur Raya bangkit dan berdirilah negara-negara tersendiri di daerah tersebut. Salah satunya negara kita.

Dan saat itu, negara kita tercinta yang baru terlepas dari belenggu penjajahan. Masih sangat terguncang oleh sekutu yang membawa Belanda dengan niat kembali menguasai daerah jajahannya dulu.

Banyak tragedi yang terjadi saat sepuh-sepuh mempertahankan kemerdekaannya. Peristiwa 10 November di Surabaya, Palagan Ambarawa, Agresi Belanda, Bandung Lautan Api dan lainnya.
Dan saking cintanya leluhur kita pada negaranya, kejadian-kejadian seperti diatas menjadi tidak terhitung dan dianggap sepele. Padahal yang terjadi dilapangan mungkin saja separah kejadian-kejadian yang besar.

Pertempuran Konvoy, salah satunya. Pencegatan suplai bagi tentara sekutu yang berada di Bandung, dianggap sepele oleh pemerintah.
Pertempuran sepanjang Sukabumi-Cianjur ini memakan banyak sekali korban dan mehancurkan sebuah kota kecil, Cibadak.

Pertama, kejadian penggempuran dari siang menghambat laju konvoy berangkat ke Bandung. Banyak korban berjatuhan dari kedua kubu. Tetapi, Inggris rugi berat karena artileri mereka yang posisinya paling depan dihancurkan oleh teknik “memukul kepala ular berbisa”.

Pemanggilan bantuan udara dari markas sekutu di Jakarta sempat meredam serangan meskipun satu pesawat Masquito ditembak jatuh. Memang sempat tertahan tapi bantuan udara itu membuat pasukan konvoy lepas. Hanya pesawat yang dapat menghentikan sepuh kita.

Kedua, Pembombardiran kota Cibadak tanggal 10 Desember 1945 yang mengahancurkan hampir seluruh wilayah Cibadak. Yaitu dari awal Ongkrak/ujung Pamuruyan sampai Sekarwangi. Masyarakat tersakiti secara batin dan fisik. Batin, mereka kehilangan harta, orang, mata penceharian. Fisik, luka-luka, kelaparan, dan beberapa meninggal.

Ketiga, Penghadangan bantuan pasukan Sekutu di Gekbrong. Awalnya bertujuan untuk membantu pasukan yang tertahan di Sukabumi, tapi mereka sendiri ditahan.

Keempat, Terus tertahan di Sukabumi dan kerepotan, mereka mengutus Mayor Ravingh Singh untuk berunding dengan Letkol Edi Sukardi. Perundingan itu disertai juga oleh Walikota Sukabumi Mr. Syamsudin dan Bupati Sukabumi Mr. Harun.
Pihak sekutu meminta agar keselamatan pasukannya terjamin. Dan pihak TKR meminta agar sekutu konsekuen terhadap penjanjian (pengawalan oleh TKR). Tapi sekutu selalu melanggar karena diotaki oleh Van Mook, pimpinan NICA.

Pelanggaran ini dikarenakan oleh keinginan pihak Belanda dibantu Inggris menguasai kembali koloni Hindia Belanda.
Anehnya, Parlemen Inggris sendiri memprotes pertempuran itu karena hanya membuang-buang anggaran perang. Dari India pun datang protes dari Jawahral Nehru yang tak ingin orangnya berperang melawan TKR.

Kelima, Pertempuran Konvoy berlanjut dari tanggal 10-14 Maret 2016 dari Bojongkokosan sampai Ciranjang. Sejauh 81 km. Penyebabnya pelanggaran perjanjian lagi. Penembak jitu dari TKR ditempatkan di sepanjang jalan tersebut. Baik di bangunan-bangunan, bukit, tebing dan lainnya.

Dari sinilah sekutu muak dan melayangkan ultimatum ke Bandung. Tetapi, masyarakat membungihanguskan terlebih dahulu kota Bandung. Peristiwa inilah yang disebut Bandung Lautan Api.

Keenam, bagian terakhir seharusnya bagian yang bahagia. Tapi sayang, cerita heroik dari Daerah Penyangga Ibu Kota tidak tercatat sebagai peristiwa bersejarah nasional seperti Peristiwa 10 November yang menjadi Hari Pahlawan. Tapi, hanya menjadi Hari Juang Siliwangi yang bersifat regional provinsi dan pastinya tidak merah atau libur. :D
Ketujuh, sempat meminta dijadikan Hari Perlawanan Nasional kepada ibu Presiden Megawati. Tapi, ditolak tanpa alasan oleh KSAD saat itu. Ia berkata “Itu terjadi di setiap daerah, biasa saja”.
Menyedihkan, pengorbanan sesepuh kita dianggap biasa saja oleh KSAD. Berkali-kali dicoba tapi hanya diberikan Hari Juang Siliwangi.

“Panglima harus tanggap, ini Hari Juang Siliwangi. Bukan kami, kami sudah sepuh. Mungkin besok lusa meninggal”


-Letkol TNI (Purn) Ilyas Karim-  

Astrajingga, A Sundanese Icon

“Assalamualaikum (may the peace upon you)”. It was the opening sound of Wayang Golek show, and it was Cepot sound by the legendary dalang (master puppeter) Asep Sunandar Sunarya.

Every Sundanese people knows this character. Not like the other character in Sundanese wayang story, he was famous by it's hilarious comedy in every golek show. And sometimes the dalang put some pangeling (nasihat) and spiritual story.
In the past, when the Islamic culture is growing up around the Nusantara (present day: Republic of Indonesia). The golek show is used by ulama (penyebar agama) to teach the Islam in Tatar Sunda (Land of Sunda / Western Java).


Gubrakk (the sound is coming from the coconut tree)

“Lah?” Semar, father of Cepot got up from the chair.

“Ari silaing dititah ngala dua kalah ngala tilu?! (I said just two not three. Are you daft?!)”. Semar ask the Cepot about the coconut fruit

“Dua kulan ieu ge (It's two , dad)”. Answer Cepot in pain

“Naha sada muragna tilu atuh? (Why the “dropped thing” sounds three?)”. Semar ask again.

“Sanes, sarung etamah (No,no. That was my sarung)”. Dengan polosnya Cepot menjawab

“Maenya sarung disada pak gembut? (That wasn't sound of sarung)”. Semar ask again and again

“Apanan jeung dewek (That was me, inside)”. Answer Cepot while cleaning his outfit.

“Oh, paingan atuh (Oh)”.

From Cepot Saparakanca by Demi Dasmana in youtube.

Cepot is the second most popular icon of Sundanese culture, the first is Angklung . Cepot is a creature with “nyunda” (Sundanese) style. With iketan batik as it's hat, black pangsi (Pencak Silat oufit), and the red-blue sarung. It was Sundanese outfit that Sundanese ancestor wear in the past.
But, there is a few place in Western Java that still using it for everyday. Just like the Banten's Baduy at Banten Province, Halimun people of Cikaniki village at the National Park of Halimun-Salak, and so many other place.

His real name was Astrajingga. Astra or Sastra in sanskerta language means tulisan (things that have been writen), and Jingga means red (color).
He was temperamental, easy to angry and impatient. But big smile in his face means he was cheerful, active and happy.

He was born from the shadow of Semar, he wanted a friend when he were going down to the Earth from Kahyangan. That is why, if there's Semar there must be Cepot with him.


Visit my country, Indonesia.

Cepot. Fakta dari Sang Anak Semar

“Assalamualaikum..”. Begitulah suara khas sang dalang Asep Sunandar Sunarya saat membawakan karakter Cepot.

Karakter yang menjadi favorit hampir semua orang Sunda. Tak seperti karakter lain yang terlihat “serius” dalam perwatakannya . Sifat humoris dirinya yang selalu mengocok perut penonton. Dan terkadang terselip amanat-amanat, nilai keagamaan dan nilai budaya dihampir setiap lawakannya.

Gubrakk (suara jatuh dari arah pohon kelapa)

“Lah” Semar saat itu sedang santai minum kopi di kursi bangkit

“Ari silaing dititah ngala dua kalah ngala tilu?! (Lah, disuruh ngambil dua malah ngambil tiga?!)”. Tanya Semar

“Dua kulan ieu ge (Ini ngambil 2)”. Balas Cepot yang terlihat masih kesakitan

“Naha sada muragna tilu atuh? (Kenapa suara jatuhnya ada tiga kali?)”. Semar bertanya lagi

“Sanes, sarung etamah (Bukan, itu sarung yang jatuh)”. Dengan polosnya Cepot menjawab

“Maenya sarung disada pak gembut? (Masa sarung jatuh suaranya gudubrak?)” Semar merasa aneh pada anaknya

“Apanan jeung dewek (Kan yang pakenya saya)” Kata Cepot sambil setengah menepak dadanya

“Oh, paingan atuh (Oh, pantesan)”.


Sekilas cuplikan dari video animasi 3D buatan Demi Dasmana yang saya saksikan di youtube.

Cepot, sudah mendarah daging di masyarakat Sunda. Terutama bagi para pecinta wayang golek asli Tanah Pasundan. Penampilannya yang benar-benar “nyunda” adalah ciri khasnya.
Dengan baju pangsi (baju silat) hitam, ikat kepala batik dan tentunya sarung warna merah-biru. Komplit sudah setelan Cepot akan ke-sunda-annya.

Dengan nama asli Astrajingga yang mempunyai misi melindungi para Pandawa dan melindungi negri Amartapura. Ia sangat patuh pada Semar, orangtuanya meskipun tidak didapatkan dari cara perkawinan seperti manusia umumnya.

Ia lahir dari banyangan Semar. Saat Semar akan diutus turun ke Bumi untuk menjaga keturunan Batara Guru (adik Semar), ia meminta pada Sang Hyang Eka Tunggal agar diberikan teman hidup selama di Bumi. Lalu Sang Hyang Eka Tunggal bertanya pada Semar, “Apa yang bisa menemani manusia (setiap saat)”. Semar menjawab, “Banyangan”.
Maka mukzijat terjadi dan muncullah sosok Astrajingga atau Cepot dari bayangan Semar. Itulah sebab mengapa ada Semar ada Cepot ataupun sebaliknya.

Warna merah pada diri Astrajingga atau Cepot berarti ia punya sifat mudah marah dan tak sabaran. Tapi, ia punya wajah yang tersenyum lebar yang mengartikan ia selalu ceria dan humoris.


 Dedikasi tinggi pada para Pandawa dan negaranya dari awal sampai akhir memberi kita pelajaran bahwa menjadi orang yang jujur, setia dan dapat dipercaya adalah hal yang sangat wajib. Lebih-lebih pada masa sekarang, yang semakin sedikit jumlah orang yang berdedikasi tinggi seperti Astrajingga atau Cepot.

Tahun Pengakhiran, Macan Tutul Jawa

Kasihan, mungkin adalah kata yang cukup tepat untuk mengisahkan apa yang terjadi pada mereka. Macan Tutul Jawa (Javan leopard / Panthera pardus melas) , spesimen kucing besar satu-satunya yang masih bertahan di tanah Jawa.


Timang, nama dari macan di foto, Kebun Binatang Berlin (vivanews)

 Kalau diibaratkan, Pulau Jawa itu seperti Pulau Kuba, yang ramai dan sangat dekat dengan ibukota. Dan banyak manusia yang membedah hutan dan mengambil tanpa memikirkan dampaknya.

Selama penjajahan Eropa ke Asia, terutama Asia Tenggara adalah saat paling parah dimana pemburuan yang sudah berevolusi. Masyarakat lokal dengan tombak, belati dan panah berusaha habis-habisan memburunya.
Sedangkan orang bule memakai musket (senapan saat itu), yang lebih mematikan.
Kejadian itu juga berlaku pada Cougar (Frontier, Amerika Utara), Harimau Sumatra, Harimau Bali dan juga Harimau Jawa.


Menyerang warga, Macan Tutul  dibunuh di India.

Piraku rek diporo deui?. Populasi nya yang hanya beberapa ratus ekor membuatnya terspesifikasi sebagai hewan yang terancam punah.

Mari kita ingat masa lalu, mari kita jaga masa sekarang, mari kita jamin masa depan yang lebih baik.
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html