An Elder Scrolls Story : Journey To The East Part 2

Setelah sehari perjalanan sampai lah aku ditempat tujuan, di Imperial City dekat Arena. Menurut pengirim, ia akan menunggu kedatanganku disini selama 3 hari.
Terlihat seorang pria Breton bersandar di dinding Arena masih tetapi kokoh berdiri indah.

“Sudah hampir 2 hari aku disini, dimana orang itu?! Apakah jalan setapak dari Skyrim ke sini sudah hancur?”

“Ah itu pasti dia”. Ujarku dalam hati. “Permisi, apa anda sedang menunggu seorang... kurir, pak tua?”

Disambutnya aku dengan pelukan yang bercampur dengan kekesalan.

“Oh, demi Sembilan Dewa!. Akhirnya, kenapa kau lama sekali!. Ada apa gerangan diperjalananmu? Kau membuat seorang pria tua menunggu lama.”

“Maaf, ada sedikit badai salju di bukit perbatasan. Ini sepucuk surat dan beberapa batang emas. Kau pasti untung besar hari ini, pak tua.” Puji dariku dengan harapan sedikit ongkos tambahan.

“Mungkin saja. Nah, bawa ini dan gantungkan kantong ini diluar rumahmu. Ini tambahannya”. Ucapnya agak pelan. “Untung saja aku ini penyabar, aku sudah menunggumu diatas sini. Melayang seperti daun sebelum gugur”.

“Kau seorang penyair rupanya, harusnya kau jual kata-kata itu pada wanita di tempat minum.”

Tertawalah kami berdua, dan kuambil sebuah berlian pemberiannya sebelum berpisah. Ucapan kodenya sangat asing ditelinga, tapi aku sudah terbiasa dengan yang seperti ini.

“Baik sekali dia, batu hiasan yang mahal dijadikan bayaran. Padahal kalau ia ingin meminta jasaku aku akan sedia mengirim untuknya ke penjuru Tamriel”.

Lalu aku melirik kebelakang dengan niat akan berteriak selamat tinggal dan terimakasih. Tapi dia sudah tidak ada disana.

“Aneh” Ucapku pada diri sendiri. “Kuharap perjalanan pulangku tenang.”

Sore menjelang, kuhampiri penginapan kecil di utara Cyrodiil. Sambil melepas dahaga dan

“Ah, petang di Cyrodiil.... Aku harus mencari tempat tidur. ”

Masuklah aku ke satu tempat minum, dan kuhampiri penjaganya.

“Pak, bolehkah aku memesan kamar dan beberapa potong roti? Perapianmu sangat hangat dan
sepertinya tempat ini terasa nyaman sekali” Dengan trik yang sama, kuharap pujianku berubah menjadi diskon.

“Hmph, tipuanmu takkan bekerja dua kali padaku. Kurir sialan” Ucap si penjaga “Selamat datang kembali temanku, di tempatku yang sederhana ini”.

Ia bernama Lucius, seorang pensiunan tentara Imperial ini beralih profesi menjadi pengelola tempat minum. Ia mungkin orang tua, tapi kebijaksanaan dan pengalamannya, ajaibnya, membuat usahanya tetap bertahan walau diam di perbatasan.

“Kamar satu, 2 botol anggur, dan 3 potong roti. Seperti biasanya, sudah siap.” Lucius dengan seringai ramahnya seperti mengucapkan mantra spesial untukku.

“Orang tua sialan, kau selalu saja tahu apa yang ku mau. Kenapa kau tak pikun-pikun”
Tawa lantang kakek penjaga memecah keheningan malam.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lalu keluarlah cahaya dari arah timur, seakan melihat matahari terbit. Laut badai yang kusam berubah putih seperti susu dan awan badai seakan berlari ketakutan. Perlahan air laut mulai tenang dan semuanya terasa damai.

“Ku dengar pinta mu, sang Ksatria Penjaga.”
Suara yang terdengar berganti dengan suara seorang perempuan muda yang lembut.

“Berterimakasih lah pada Dewa Stendarr, Di alah yang menyampaikan perintah menyelamatkan kalian. Ingat, jagalah kalung itu baik-baik, pulangkan lah ia ketempatnya!. Akhiri kutukan itu!”

Cahaya terang itu berangsur-angsur menghilang, kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit yang bersih pun menggantikannnya. Hiasan aurora di selatan menambah kecantikan malam itu.

“Apa itu tadi?, Siapa dia?, Kau ini siapa?, Kenapa kau bisa....”

Sebelum menyelesaikan pertanyaan mereka, penumpang dan awak kapal sudah dibuat tidur duluan dengan sihirnya. Kecuali aku. Aku tidak tau mengapa.

“Kau!” ujarnya “Kau, kurir. Kemari!”

Dengan penuh rasa takut aku melangkah maju mendekati orang itu. Ia memakai jubah hitam dengan corak yang belum penah aku lihat, tangan kanannya memegang sebuah tongkat sihir yang juga dipenuhi dengan corak yang asing. Tapi suaranya sudah tidak berat dan terdengar familiar.

“Masihkah kau ingat denganku? Kau tak mungkin lupa dengan pelangganmu sendiri. Kurir.”

“Pak tua? Kau kah itu? Bagaimana bisa?” Jawabku dengan sejuta tanya dihati.

“Diamlah kalau kau tak mau terkena sihirku. Kau hebat nak, kau telah bertahan sejauh ini.....”

“Lalu? Pasti ada sesuatu yang kau inginkan....” Ucapanku memotong perkataanya.

“Penyemangat dan langsung ke inti, pantas kau sangat dipercaya menjadi kurir. Bagus. Ya, aku ada permintaan. Aku ingin kau membawa kalung ini pulang ke tempatnya sebagai pengganti diriku yang renta ini” Jelasnya bagai seorang penyair.

“Tapi, aku....... aku ini....... hanya seorang kurir. Aku sudah ditugaskan orang lain.”

“Hmph, Raja The Rift, kah? Jangan khawatir destinasimu akan sama dengan tujuan suratmu”.

An Elder Scrolls Story : Journey To The East


Kapal semakin tidak stabil, terus saja bergoyang diterjang ombak badai. Aku terus berharap agar kami selamat sampai tujuan.

“Penumpang!, harap tenang dan jangan banyak bergerak. Kau! Tahan tali itu dan ikat disana!” Teriak sang kapten kapal.

“Semoga Dewa Stendarr melindungi kita!” Ujar salah satu awak kapal.

Kulihat ia merogoh dalam-dalam kantong kulit itu, entah sedang mengambil apa. Tak lama kemudian sebuah kalung indah tampak digenggamnya dengan penuh kesedihan.

“Hari ini kau harus pulang, hari ini. Walau bagaimanapun.”

Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara raungan diantara gemuruh badai. Raungan yang seharusnya menakutkan entah mengapa terasa sangat menenangkan.

“Raungan mulia sang penyelamat, raungan kematian sang pembunuh, raungan keadilan sang Sriwarnayasa, sang penguasa lautan timur!”

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah 5 tahun berlalu, di tempat kecil ini, sendiri. Sempat terlintas untuk pergi, tapi hanya tempat inilah harta yang aku punya. Sebisa mungkin aku kembali walau badai-hujan disepanjang jalan.

Tempat ini tidak semegah istana Jarl (red: Raja) ataupun senyaman penginapan di tempat minum langgananku. Hanya ada ruang tengah dan kamar. Hanya ada sebuah simbol dan kayu bertuliskan “Kurir Provinsi”. Ya, aku adalah seorang kurir antar-provinsi.

Di ruang tengah bergelantungan beberapa belati dan pedang yang entah kenapa aku simpan terus walau aku bukan seorang prajurit bayaran. Bahkan setiap pengiriman, aku selalu menyarungkan dua belati dipinggangku.

Pekerjaan ini memang tidak seberapa, hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan tidak setiap hari ada yang mau mengirim surat. Tapi apakah ada pekerjaan yang memberikan kebebasan selain menjadi kurir?. Ditambah lagi setiap pengiriman ke daerah baru aku selalu bertemu dengan teman-teman baru.

Hanya seorang kurir yang benar-benar bebas melintas kemanapun, tidak ada Nord yang berkalungkan tanda Dewa Talos yang bisa masuk ke Pulau Summerset kecuali ia adalah seorang kurir. Ada kurir pergi ke daerah Rawa Hitam yang katanya tidak bisa ditembus, tapi surat tetap saja terkirim.
Siang itu aku sedang duduk di dekat perapian, sambil menikmati sepiring salmon bakar hasil pancinganku kemarin dan akan segera berangkat ke Cyrodiil untuk mengambil surat, “Bisnis” kata sang pengirim.

“Hmph, paling hanya surat pembelian Skooma (red: obat terlarang) dengan beberapa batangan emas”

Terdengar suara lantang dari pintu, bergegas aku menghampirinya dan membukakan pintu.
“Permisi! Kurirnya ada?”

Suara itu tak asing, Haftar seorang Redguard utusan istana Riften. Aku tinggal di pinggir barat danau Hornrich dekat desa Ivarstead.

“Ah, temanku! Untunglah kau belum pergi. Ada surat dari Jarl, Yang Mulia ingin kau menghadap ke istana secepatnya”.

“Bagaimana kalau nanti, aku sedang ada kiriman yang harus dijemput? Aku sudah dibayar lunas?” Ujarku bingung.

“Jarl akan memberimu tugas penting, segeralah menghadap!”. Haftar memaksa.

“Begini saja, tunggulah seminggu selagi aku pergi ke selatan. Sebagai jaminannya kau simpan kunci rumahku dan aku ambil suratmu?” Pintaku dengan penuh pertimbangan.

“Baiklah. Tapi cepatlah pulang, kutunggu kau di istana”. Katanya sambil menaiki Darsi, kuda kesayangannya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ia  yang awalnya bersedih entah kenapa terlihat gembira seakan melihat titisan Dewa.

“Raungan mulia sang penyelamat, raungan kematian sang pembunuh, raungan keadilan sang Sriwarnayasa, sang penguasa lautan timur!” Teriaknya dari ujung  dek kapal.
“Makhluk dari Aetherius! Mensucikan diri di Nirn! Mengampuni para pendosa dan memuliakan para pengikutnya! ”.

Lalu keluarlah cahaya dari arah timur, seakan melihat matahari terbit. Laut badai yang kusam berubah putih seperti susu dan awan badai seakan berlari ketakutan. Perlahan air laut mulai tenang dan semuanya terasa damai.

“Ku dengar pinta mu, sang Ksatria Penjaga”.

Bahasa & Hidup (II)


Zaman praaksara dahulu sebelum ada tulisan, manusia memakai gambar untuk menyuratkan segala isi hatinya. Tapi bahasa sudah diperkirakan ada saat itu. Benak penulis sempat membayangkan bagaimana bahasa mereka saat itu.
Lalu berkembang sampai muncul tulisan-tulisan awal seperti aksara bangsa Sumeria dan Mesir Kuno yang berangka berabad-abad sebelum masehi.
Berabad-abad setelah itu lahirlah berbagai tulisan yang masuk dan tersebar luas di Nusantara yang asalnya dari Semenanjung India.
Tapi bagaimana dengan bahasa di Nusantara itu sendiri?
Apakah nenek moyang kita menunggu tulisan dan bahasa asing itu dahulu?
Kita simpan dulu saja pertanyaan diatas untuk bagian lain. Dan mari simak cuplikan dibawah ini.
***
Entah apa yang Sutejo sedang bicarakan. Ia terlihat sibuk mondar-mandir dengan telepon genggamnya yang terkesan menempel dengan erat di telinga ayah 2 anak itu.
“Yes, sir. The package will be there soon. I have already sent it via local shipment company. The company says 4 days to Bangkok”
Beberapa detik Sutejo terdiam.
“Oh, thank you, sir. My pleasure. I hope my product will satisfied you”

Ia pun menutup telepon flip-nya dan melangkah kembali ke warung kopi. Ia terlihat sangat kegirangan, entah apa yang merasukinya
“Hei, senyum-senyum!. Dapat istri baru ya?”
“Eits. Supaya we. Ndak lah. Iki lho aku baru ngirim pesanan orang luar. Dari Bangkok, Thailand!.”
“Hebat kamu, jo. Salut saya! Dia mesen apa? Kursi? Meja? Lemari?”
“Dia mesen full-set, buat living room sama ruang santai”
Tejo ini aslinya orang Jogja, tapi pindah kesini buat meneruskan usaha Ukir Jepara mertuanya. Usahanya berkembang pesat, jadi ngiri aku. Ya, aku hidup bulak-balik kantor developer IT aja. Gaji memang cukup, tapi ritme kerja yang monoton kadang membuatku bosan. Ujung-ujungnya warung inilah perlarianku.
***
Cuplikan di atas agaknya menggambarkan bagaimana bahasa menjadi sangat vital di masyarakat. Baik lokal secara kedaerahan maupun internasional seperti Bahasa Inggris.
Terlihat jua bahasa juga menjadi satu unsur penting dalam perniagaan seperti ini. Mana ada orang luar yang ngerti “Mangga dipeser, pak. Mirah”? Ada? ,tapi mungkin satu dari sepersekian juta.
Perdagangan Bebas memang memaksa kita untuk adaptif, fleksibel dan siap bersaing dalam berkomunikasi. Utamanya berkomunikasi dalam bahasa pemersatu.
Barang kita bagus-bagus kok!. Bandrek sudah di ekspor, Ukir Jepara seperti diatas sudah veteran, rempah-rempah kita dimasa lalu laku keras dipasaran. Yang kurang hanya kita sebagai tenaga kerja dan penduduk yang masih kurang mempersiapkan diri.
Kita bisa menyalahkan pemerintah dalam hal ini. Ya, bisa.
Tapi alangkah baiknya kita berkomitmen sendiri. Yah, minimal belajar dengan giat sebagaimana mestinya dan me-literasi diri (red : rajin membaca). Kenapa tidak? Kenapa tidak dari sekarang? Mari kita giatkan!.

Tuntunan

Hilang kurasa getir hati.
Tapi hilang jua bahgia ku.
Indah kurasa bayang ini.
Dan datang pula gundah itu.

Bagaikan desir angin menyapu awan.
Kurasa tapi tak kuraba.
Seperti guruh yang menyergap.
Takut tapi tak menyiksa.

Seperti hidup sang pengembara.
Berjalan diantara hutan kehidupan.
Persis hidup seorang abdi raja.
Hanya berjalan dengan setia.

Garis Tuhan terlalu pasti.
Sang penunjuk jalan kita.

--

Bahasa & Hidup (I)

***

Diam-diam dari warung kopi kuperhatikan 2 orang yang sedang sibuk memeriksa bawaannya.
“Alah, aya nu poho!”.
Begitulah kira-kira ucapan yang keluar dari mulutnya. Dengan aksen khas Cianjuran yang memberikan kesan yang agak berbeda dibanding teman-teman lain yang istilahnya “salembur” (sama asalnya dari tanah Sunda).
Asal muasal dia memang berbeda. Lahir memang di Bogor, tapi besar di Cianjur lalu menetap disini. Sukabumi.
“Halah, terlupa pula?.”
Jawaban keluar dari mulut temannya. Sudah bisa ditebak asalnya dari mana. Batak. Ia orang rantau yang cukup sukses. Ia punya satu toko sembako yang memang tidak terlalu besar, tapi dapat menggaji 2 orang pekerjanya. Yang salah satunya adalah si orang Cianjur ini.
“Masih leuheung bahasa mereka”. Ujar ku dalam hati. “Beda dengan preman itu”.
“Mayar moal sia, kehed?!” Sambil mengancam akan menampar.
Kepalaku seperti otomatis menggeleng-geleng melihat kejadian itu. Pedagang sendal itu langsung memberikan sejumlah uang ke preman itu.


***

Ia kadang mati. Kadang hidup. Kadang sakit. Kadang sehat. Tapi ia bukan makhluk hidup dan punya kedekatan khusus dengan umat manusia.
Ia dibungkam agar mati. Karena sekali ia membual bisa kacau situasi ataupun karena bila ia berteriak akan tersingkap satu fakta yang menyedihkan.
           
              Ia dihidupkan agar tercipta keamanan. Atau agar tercipta satu kebohongan.
              Ia terlihat sakit karena dirusak, dinodai modernisasi.
              Ia terlihat sehat karena dijaga, dirawat dengan baik.

Itulah Bahasa. Salah satu dari sekian banyak cara manusia berkomunikasi dan yang paling umum digunakan.

Merupakan teknik komunikasi yang sudah dipakai berabad-abad di sepanjang sejarah peradaban manusia dan sangat erat kaitannya dengan perkembangan manusia dari waktu ke waktu. Dari Bahasa yang ini sampai yang itu. Berderet ribuan bahkan mungkin jutaan Bahasa yang berbeda-beda.

                Lalu, bagaimana kita? Negara Kesatuan Republik Indonesia?.

Jangan ditanya soal banyaknya bahasa. Kita ini gudang-nya. Di negara lain yang berbeda paling-paling hanya aksen saja ataupun bahasanya hanya sedikit terpakai. Tapi di negara kita semuanya benar-benar terasa perbedaannya.

Perkumpulan rantau adalah salahsatu buktinya.

Ya. Dimanapun seorang perantau berada bila sudah bertemu satu sama lain, bahasa tanah kelahirannya pasti yang akan dipakai. Ditambah segala jurus kebahasaan seperti senda gurau, pantun, cerita dan hal-hal lainnya.
Di seri artikel rahayatsunda.blogspot.com ini akan menyingkap segala hal yang bersangkut-paut dengan bahasa yang Insya Allah bermanfaat dan bisa dijadikan acuan sumber yang valid bagi pembaca.

Bahagia Kami Sehari, Hari Perlawanan Nasional

Seorang bisa disebut suhu saya belum puas melihat artikel yang saya buat di blog ini. Jadi saya putuskan untuk melanjutkan tema Pertempuran Konvoy.

70 tahun yang lalu, Perang Dunia kedua mulai merasuki daerah Asia Timur Raya

Sudah jatuh tertimpa tangga. Jepang menyerah kalah perang karena dibombardirnya kota Hiroshima dan Nagasaki, dan juga kehilangan Asia Timur Raya-nya. Ekspansi daerah pun gagal. Tapi, dibalik itu semua rasa nasionalisme penduduk Asia Timur Raya bangkit dan berdirilah negara-negara tersendiri di daerah tersebut. Salah satunya negara kita.

Dan saat itu, negara kita tercinta yang baru terlepas dari belenggu penjajahan. Masih sangat terguncang oleh sekutu yang membawa Belanda dengan niat kembali menguasai daerah jajahannya dulu.

Banyak tragedi yang terjadi saat sepuh-sepuh mempertahankan kemerdekaannya. Peristiwa 10 November di Surabaya, Palagan Ambarawa, Agresi Belanda, Bandung Lautan Api dan lainnya.
Dan saking cintanya leluhur kita pada negaranya, kejadian-kejadian seperti diatas menjadi tidak terhitung dan dianggap sepele. Padahal yang terjadi dilapangan mungkin saja separah kejadian-kejadian yang besar.

Pertempuran Konvoy, salah satunya. Pencegatan suplai bagi tentara sekutu yang berada di Bandung, dianggap sepele oleh pemerintah.
Pertempuran sepanjang Sukabumi-Cianjur ini memakan banyak sekali korban dan mehancurkan sebuah kota kecil, Cibadak.

Pertama, kejadian penggempuran dari siang menghambat laju konvoy berangkat ke Bandung. Banyak korban berjatuhan dari kedua kubu. Tetapi, Inggris rugi berat karena artileri mereka yang posisinya paling depan dihancurkan oleh teknik “memukul kepala ular berbisa”.

Pemanggilan bantuan udara dari markas sekutu di Jakarta sempat meredam serangan meskipun satu pesawat Masquito ditembak jatuh. Memang sempat tertahan tapi bantuan udara itu membuat pasukan konvoy lepas. Hanya pesawat yang dapat menghentikan sepuh kita.

Kedua, Pembombardiran kota Cibadak tanggal 10 Desember 1945 yang mengahancurkan hampir seluruh wilayah Cibadak. Yaitu dari awal Ongkrak/ujung Pamuruyan sampai Sekarwangi. Masyarakat tersakiti secara batin dan fisik. Batin, mereka kehilangan harta, orang, mata penceharian. Fisik, luka-luka, kelaparan, dan beberapa meninggal.

Ketiga, Penghadangan bantuan pasukan Sekutu di Gekbrong. Awalnya bertujuan untuk membantu pasukan yang tertahan di Sukabumi, tapi mereka sendiri ditahan.

Keempat, Terus tertahan di Sukabumi dan kerepotan, mereka mengutus Mayor Ravingh Singh untuk berunding dengan Letkol Edi Sukardi. Perundingan itu disertai juga oleh Walikota Sukabumi Mr. Syamsudin dan Bupati Sukabumi Mr. Harun.
Pihak sekutu meminta agar keselamatan pasukannya terjamin. Dan pihak TKR meminta agar sekutu konsekuen terhadap penjanjian (pengawalan oleh TKR). Tapi sekutu selalu melanggar karena diotaki oleh Van Mook, pimpinan NICA.

Pelanggaran ini dikarenakan oleh keinginan pihak Belanda dibantu Inggris menguasai kembali koloni Hindia Belanda.
Anehnya, Parlemen Inggris sendiri memprotes pertempuran itu karena hanya membuang-buang anggaran perang. Dari India pun datang protes dari Jawahral Nehru yang tak ingin orangnya berperang melawan TKR.

Kelima, Pertempuran Konvoy berlanjut dari tanggal 10-14 Maret 2016 dari Bojongkokosan sampai Ciranjang. Sejauh 81 km. Penyebabnya pelanggaran perjanjian lagi. Penembak jitu dari TKR ditempatkan di sepanjang jalan tersebut. Baik di bangunan-bangunan, bukit, tebing dan lainnya.

Dari sinilah sekutu muak dan melayangkan ultimatum ke Bandung. Tetapi, masyarakat membungihanguskan terlebih dahulu kota Bandung. Peristiwa inilah yang disebut Bandung Lautan Api.

Keenam, bagian terakhir seharusnya bagian yang bahagia. Tapi sayang, cerita heroik dari Daerah Penyangga Ibu Kota tidak tercatat sebagai peristiwa bersejarah nasional seperti Peristiwa 10 November yang menjadi Hari Pahlawan. Tapi, hanya menjadi Hari Juang Siliwangi yang bersifat regional provinsi dan pastinya tidak merah atau libur. :D
Ketujuh, sempat meminta dijadikan Hari Perlawanan Nasional kepada ibu Presiden Megawati. Tapi, ditolak tanpa alasan oleh KSAD saat itu. Ia berkata “Itu terjadi di setiap daerah, biasa saja”.
Menyedihkan, pengorbanan sesepuh kita dianggap biasa saja oleh KSAD. Berkali-kali dicoba tapi hanya diberikan Hari Juang Siliwangi.

“Panglima harus tanggap, ini Hari Juang Siliwangi. Bukan kami, kami sudah sepuh. Mungkin besok lusa meninggal”


-Letkol TNI (Purn) Ilyas Karim-  

Astrajingga, A Sundanese Icon

“Assalamualaikum (may the peace upon you)”. It was the opening sound of Wayang Golek show, and it was Cepot sound by the legendary dalang (master puppeter) Asep Sunandar Sunarya.

Every Sundanese people knows this character. Not like the other character in Sundanese wayang story, he was famous by it's hilarious comedy in every golek show. And sometimes the dalang put some pangeling (nasihat) and spiritual story.
In the past, when the Islamic culture is growing up around the Nusantara (present day: Republic of Indonesia). The golek show is used by ulama (penyebar agama) to teach the Islam in Tatar Sunda (Land of Sunda / Western Java).


Gubrakk (the sound is coming from the coconut tree)

“Lah?” Semar, father of Cepot got up from the chair.

“Ari silaing dititah ngala dua kalah ngala tilu?! (I said just two not three. Are you daft?!)”. Semar ask the Cepot about the coconut fruit

“Dua kulan ieu ge (It's two , dad)”. Answer Cepot in pain

“Naha sada muragna tilu atuh? (Why the “dropped thing” sounds three?)”. Semar ask again.

“Sanes, sarung etamah (No,no. That was my sarung)”. Dengan polosnya Cepot menjawab

“Maenya sarung disada pak gembut? (That wasn't sound of sarung)”. Semar ask again and again

“Apanan jeung dewek (That was me, inside)”. Answer Cepot while cleaning his outfit.

“Oh, paingan atuh (Oh)”.

From Cepot Saparakanca by Demi Dasmana in youtube.

Cepot is the second most popular icon of Sundanese culture, the first is Angklung . Cepot is a creature with “nyunda” (Sundanese) style. With iketan batik as it's hat, black pangsi (Pencak Silat oufit), and the red-blue sarung. It was Sundanese outfit that Sundanese ancestor wear in the past.
But, there is a few place in Western Java that still using it for everyday. Just like the Banten's Baduy at Banten Province, Halimun people of Cikaniki village at the National Park of Halimun-Salak, and so many other place.

His real name was Astrajingga. Astra or Sastra in sanskerta language means tulisan (things that have been writen), and Jingga means red (color).
He was temperamental, easy to angry and impatient. But big smile in his face means he was cheerful, active and happy.

He was born from the shadow of Semar, he wanted a friend when he were going down to the Earth from Kahyangan. That is why, if there's Semar there must be Cepot with him.


Visit my country, Indonesia.
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html